Senin, 08 September 2008

EFEK KOSMETIK TERASA 4 TAHUN KEMUDIAN


SEBAGIAN suami menghendaki istrinya tampil cantik. Begitu juga masyarakat cenderung menyukai wanita yang tampil cantik. Akibatnya, banyak wanita menempuh jalan pintas membeli kosmetik. Sayang, banyak mereka tidak mengerti unsur-unsur yang tercantum dalam kemasannya. Padahal kosmetik yang mengandung zat terlarang, berbahaya bagi kesehatan.
Efeknya serius dan permanen, baru terasa 3 atau 4 tahun kemudian. Bagaimana peran Badan Pengawasan Obat dan Makanan? Demikian antara lain pandangan yang muncul dalam siaran interaktif Koran Tokoh di Global FM 96,5, Minggu (15/10). Topiknya, “Waspadai Kosmetik Berbahaya”. Berikut petikannya. Izin Edar belum Menjamin Peredaran obat atau kosmetika terlarang hendaknya disikapi lebih waspada, terutama yang di outlet tidak resmi. Perhatikan produknya, apa kegunaannya. Apa efeknya bagi tubuh dan kesehatan. Perhatikan kemasannya, apakah mengandung bahan yang berbahaya bagi kesehatan. Jika dalam kemasannya tercantum unsur kimia yang berbahaya seperti merkuri dan hidrokinon, tidak boleh melebihi aturan yang disahkan Undang-undang Kesehatan. Sebagian perusahaan kosmetik tampaknya tidak jera mengeluarkan produk terlarang. Pemerintah dan aparat penyidik harus bekerja dengan gigih untuk memerangi, minimal bisa mencegah peredaran obat yang memberikan efek negatif dan merugikan generasi kita. Izin edar belum tentu bisa menjamin bahwa hal itu benar. Banyak pelaku atau produsen mengambil jalan pintas, dengan memalsukan, sembunyi-sembunyi mengedarkan dan mendistribusikan barang seperti itu. Sering korbannya masyarakat pedesaan yang tidak mengerti apa yang tengah mereka hadapi. Ida Bagus Wikantara, S.H., Praktisi Hukum Penjarakan Mereka Barang berbahaya yang ditemukan bukan hanya kosmetik, juga parfum, makanan dan sebagainya. Pernah mencuat kasus formalin tapi sampai saat ini belum terdengar orang yang menjadi sumber malapetaka itu dijebloskan ke penjara. Mungkin mereka sudah berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun berbuat seperti itu dan telah banyak masyarakat yang menjadi korban. Kosmetik sekarang merupakan kebutuhan pokok perempuan. Berkat kosmetik, muka yang kusut menjadi cerah. Terdapat unsur kimia yang dapat merusak organ tubuh. Pemberantasan diharapkan berkelanjutan, karena selama ini biasanya hanya hangat-hangat tai ayam. Saya ingin pemalsu atau koruptor di Indonesia pang taen mepenjara. Bagaimana agar mereka dipenjara, atau dijerat, hingga tidak ingin melakukan tindakan itu lagi. Selama ini mereka tenang-tenang saja. Justru yang palsu dicari karena lebih murah. Jujur, Sanglah Pembuktiannya Lama Jika hukum ditegakkan, pelaku jangan hanya dijerat dengan sanksi administrasi atau teguran. Mereka harus ditangkap kemudian disidik dan dituntut di pengadilan. Ancaman hukuman sebagaimana UU Kesehatan maksimal 5 tahun denda Rp 100 juta atau Rp 150 juta. Nilai maksimal ini sangat ringan. Lebih bagus tentukan batas minimal hukumannya. Kalau terjadi dan memang terbukti mereka melakukan pelanggaran, efeknya memerlukan waktu lama untuk membuktikannya. Mungkin efeknya baru muncul 3 atau 4 tahun kemudian. Itu pun mesti dengan tes laboratorium. Memanjarakan mereka bisa dilakukan karena ada landasan hukumnya. I.B. Wikantara Karena tidak Mengerti Cari akar permasalahannya. Pertama, pendidikan bangsa kita masih rendah. Bagi negara maju, negara yang sedang berkembang dianggap keranjang sampah. Jadi sampah yang ada di negerinya dilempar ke negara sedang berkembang. Negara yang sedang berkembang mulai berubah pola hidupnya dari terbelakang menjadi seakan-akan ikut modern, bahasa Balinya ulian nepuk pang dadi ngenah jegeg. Sebenarnya di kemasannya sudah dijelaskan unsur apa yang terkandung. Namun, bisa tidak hal tersebut dimengerti pemakai yang berpendidikan rendah. Di negara maju berbeda, begitu ada produk baru, mereka bertanya apa, kenapa dan bagaimana. Tentang komposisinya hingga pengaruhnya terhadap kulit. Banyak dari kita tidak mengerti apa yang tertera, apalagi memperoleh informasi hanya dari mulut ke mulut. Orang pun gampang menyelundupkan barangnya ke Indonesia. Sinda, Siulan Seperti Rokok Rokok, misalnya, ditulis peringatan bahaya merokok. Dalam kosmetik mestinya demikian juga. Merkuri, air raksa termasuk logam berat yang berbahaya berdasarkan keputusan Badan POM di Jakarta. Dalam konsentrasi kecil pun dapat bersifat racun. Pemakaian merkuri dalam krim pemutih dapat menimbulkan efek perubahan warna kulit, menyebabkan bintik-bintik hitam, alergi dan iritasi kulit. Pemakaian dalam dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan permanen di otak, ginjal dan gangguan perkembangan janin. Bukan kecantikan fisik yang utama, kedepankanlah inner beauty. Benar-benar kecantikan dari dalam, bukan yang tampak di luar saja. I.B. Wikantara Akibatnya Serius dan Permanen Produk kosmetik sebagai alat kecantikan umumnya secara instan menampakkan hasil berbentuk kemulusan, kecantikan dan kecerahan. Namun, tanpa disadari efeknya dalam kesehatan tubuh mengakibatkan masalah serius dan permanen. Kepentingan antara dua kubu, produsen dan konsumen, tidak terjembatani dengan baik oleh Badan POM melalui pengawasan ketat. Akibatnya, produk berbahaya tetap beredar. Pengawasan sangat lemah, dan hanya temporer. Mengapa tidak ada re-orientasi dengan memaksimalkan jamu-jamu tradisional yang memiliki sistem kerja dari dalam dan berefek penyembuhan serta kecantikan secara alamiah tanpa efek sampingan? Pande, Pandakgede Hulu ke Hilir Terkontaminasi Kimia Aktifkan kembali jamu dan upaya-upaya tradisional yang sekiranya tidak menimbulkan efek kimia yang tinggi, meskipun kita tahu susah sekali di era ini mendapatkan suatu produk yang seperti dulu. Padi dan tumbuhan buah lainnya sudah disemprot insektisida dan beragam pupuk kimiawi. Kalau bisa gunakan yang organik akan lebih bagus. Namun, dari hulu ke hilir semua produk kita sudah dikontaminasi kimia. I.B. Wikantara Kosmetik Tradisional sudah Banyak Bagaimana standar kualifikasi kosmetik yang diimpor dan bagaimana cara pengawasannya? Kosmetik tradisional bisa dicari di Bali, hanya pengembangannya perlu didukung. Di Ubud banyak yang memprodusirnya, dengan standar terjamin. Dek Wes, Mekar Buana Hak Mendapat Penjelasan Berbicara mengenai kosmetik terutama yang ilegal, kita bicara UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. UU No 32 lebih banyak memuat akibat yang ditimbulkan, No 8 tahun 1999 lebih menyorot produk dan akibatnya. Disebutkan sanksi bagi produk yang menyebabkan kerugian pada pemakainya di UU No. 23 tahun 1992, namun terkesan ringan. Namun, UU No. 8 tahun 1999, khususnya pasal 62 ayat 1, menyebutkan hukumannya di samping penjara 5 tahun maksimal, dendanya masksimal Rp 2 milyar. Hak dari konsumen untuk mendapatkan penjelasan sejelas-jelasnya dan benar tentang suatu produk. Misalnya produk tersebut labelnya apa, komposisinya apa, termasuk prosentasenya berapa, kemudian aturan pakainya bagaimana dan fungsinya apa. Tentu, harus ada tanggal kadaluwarsa dan kemudian tanda pendaftaran dari Depkes sebagai izin edar. Jika salah satunya tidak ada, produk tersebut boleh dikatakan ilegal. Ngurah Kenceng Cenderung Memilih yang Instan Kriteria zat itu berbahaya dikeluarkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan dengan Public Warning atau peringatan kepada publik tanggal 7 September 2006 nomor KH 00103352 yang mengatakan, kosmetik yang mengandung bahan dan zat warna yang dilarang yaitu antara lain: berdasarkan hasil pengawasan Badan POM RI tahun 2005 dan 2006 di beberapa provinsi ditemukan 27 merk kosmetik yang mengandung bahan yang dilarang digunakan yaitu mercuri Hg lebih besar dari 2%. Penggunaan bahan tradisional yang memiliki khasiat yang sudah terbukti dan bahkan sering digunakan nenek moyang, orangtua kita, menimbulkan akibat yang baik di kemudian hari. Berbeda dengan kosmetik yang dominan material kimia. Perempuan lebih memilih sesuatu yang mudah, ringkas cepat atau hasilnya instan. Mereka kurang memikirkan efek karena mungkin pengetahuan mereka belum memadai. Semoga kawan-kawan, adik-adik remaja dan para ibu lebih menggunakan bahan yang bersifat tradisional. Memang perlu usaha yang maksimal dan waktu yang tepat untuk memprodusir bahan kecantikan yang ada di sekitar kita. Namun berkaitan karena gaya hidup dan pekerjaan yang demikian kompleks menyisakan waktu yang sangat terbatas, pilihannya jatuh pada kosmetik yang ada unsur kimianya. I.B. Wikantara Penegakan Hukumnya bisa Diatur Kosmetika juga digunakan pria. Perilaku kita menghargai dan menghormati seolah-olah produk luar lebih berkualitas. Produk tradisional yang ada di sekitar kita terlupakan, karena tergiur tayangan di media. Konsumen langsung membeli, dan padahal belum tentu cocok untuk mukanya. Penting, tampil apa adanya, anugerah Tuhan tidak perlu dipoles berlebihan. Produsen tidak salah, tidak ada kecap Nomor 2 pasti Nomor 1. Rokok saja yang sudah disertai informasi bahayanya toh orang masih mengisapnya. Produsen kosmetik juga harus memberi informasi kelebihan dan kekurangan produknya dan bahayanya jika kulit tidak cocok. Sayang penegakan hukumnya masih bisa diatur dengan berbagai cara. Agung Adnyana, Sanur Tergantung Perilaku Suami dan Masyarakat Perilaku ibu, juga tergantung perilaku suami atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan penampilan sosok wanita. Ibu atau wanita seolah-olah berusaha mencari perhatian dari suami atau lingkungan sekitarnya dengan sesuatu yang beda serta menimbulkan perasaan bangga, mengingat ada kekurangan di sisi lain. Hal ini memacu mencari jalan pintas dengan tidak memikirkan akibat menggunakan zat yang berbahaya bagi kesehatannya. Saya setuju produsen kosmetik juga memberikan warning akibat-akibat kesehatan jika digunakan secara terus-menerus. Penegakan hukum di negara kita memang masih lemah. Namun, pertumbuhan kesadaran masyarakat terhadap hukum di Indonesia dan di Bali sudah makin meningkat. Untuk ajeg Bali mari gunakan produk Bali yang sudah diyakini memiliki khasiat yang bagus dalam perawatan kecantikan secara tradisional, seperti kunyit, kencur atau beborehan. Mari munculkan inner beauty, kecantikan yang timbul dari dalam, yang dicerminkan karakter, sifat dan perbuatan, tidak semata penampilan luar, yang bersifat sementara dan semu. I.B. Wikantara

Tidak ada komentar: